March 2, 2011

Korelasi Peran Pendidikan terhadap Pelstarian Budaya

Arus globalisasi yang seiring dengan perkembangan teknologi, mengubah wajah dunia hari ini. Sehingga, bukan hanya jarak yang terasa dekat, tapi juga sekat-sekat antar kebudayaan dan peradaban semakin tipis.
Dari perkembangan tersebut, interaksi antar kebudayaan semakin intensif. Namun persoalannya, terjadi hegemoni terhadap satu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya. Dengan demikian, terjadi pengikisan terhadap budaya tradisional (folk culture). Parahnya, masyarakat kita mengalami Culture Shock dimana terjadi kekacauan budaya dari konfrontasi antar budaya. Menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (2005:103) mengatakan :
Ekspansi Barat mampu menawarkan modernisasi dan westernisasi bagi masyarakat-masyarakat non-barat. Tokoh-tokoh politik dan intelektual dari masyarakat tersebut memberikan reaksi terhadap pengaruh barat satu atau lebih cara : menolak modernisasi dan westernisasi, menerima modernisasi dan westernisasi, menerima yang pertama menolak yang kedua
Modernisasi sebagai anak kandung reinasans di Eropa, bukan hanya menawarkan mekanisasi produksi untuk meningkatkan hasil ekonomi. Akan tetapi membawa paradigma mekanistik dalam memandang manusia. Sehingga mengantarkan manusia pada jurang dehumanisasi, dimana akar spiritual dicerabut pada kemanusiaan.
Sementara disisi lain, berdasar logika oposisi biner modern-tradisional, maju-terkebelakang, barat-timur, rasional-irasional dan dikotomi lainnya, budaya barat memposisikan non barat sebagai terkebelakang dan mesti dimodernisasi. Dari pintu inilah, westernisasi membonceng di modernisasi.
Sehubungan dengan dehumanisasi yang diakibatkan oleh modernisasi dan westernisasi, Maurice Borrmans dalam sumbangan tulisannya pada buku Dialektika Peradaban (2002:108) berkomentar :
Dengan penyalahgunaan rasionalisme dan sekularismenya, Barat cenderung melakukan perbaikan kondisi kemanusiaan, kosong dari ajaran spiritual. Manusia dikorban di altar laba.
Sehubungan dengan hal ini, kita dapat menarik pendapat sementara bahwa, kebudayaan yang tidak berakar pada konsepsi makro kosmos dan keseimbangan semesta maka akan mengalami dehumanisasi dan mengantarkan manusia pada jurang kehancuran. Dalam buku Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya (2003:137), Alo Liliweri mengatakan :
...setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan dimana semua pengikutnya berkiblat. Nilai dasar itu membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka keluar. Nilai dasar itu merupakan filosofi hidup yang mengantar anggotanya ke mana dia harus pergi...
Melihat kebudayaan Bugis, khususnya Bone, maka kita akan menemukan nilai-nilai luhur yang begitu tinggi. Akan tetapi disisi lain, kita juga akan menemukan beberapa hal yang sudah tidak relevan lagi. Menjadi pertanyaan bagi kita semua hari ini adalah, bagaimana melakukan pemilahan terhadap kebudayaan kita sehingga hal-hal yang tidak relevan, ditinggalkan dan hal-hal yang masih relevan tetap dipertahankan. Pertanyaan ini juga berlaku untuk kebudayaan asing yang juga harus dipilah. Sehingga kebudayaan asing yang relevan, dapat kita serap dan kebudayaan asing yang tidak relevan dapat kita tolak.
Dalam Lontara’na Marioriwawo dari Pattoriolong Hingga Pangaderreng (2003:7), M. Rafiuddin menegaskan :
“...Sangatlah disayangkan bila nilai-nilai budaya kita yang begitu tinggi harus hilang begitu saja, oleh kita sendiri, hanya karena kurangnya kepedulian masyarakat untuk mempelajari dan memahami secara benar sesuai apa yang diwariskan leluhur kita...”
Dapat kita bayangkan bagaimana generasi bugis Bone beberapa puluh tahun kemudian, jika hari ini tidak kita mulai revitalisasi terhadap kebudayaan Bugis Bone. Misalnya, naskah lontara, pappaseng dan sebagainya akan dilupakan. Sehingga generasi penerus kita akan kehilangan identitas dan orang asinglah yang akan meletakkan identitas itu pada generasi kita.
Sekaitan dengan identitas masyarakat dengan sejarah, A.S. Kambie dalam Akar Kenabian Sawerigading (2003:35), mencoba menggunakan pisau analisis Nietszche tentang sejarah
...lewat sejarah artikularian, orang dapat menemukan kesinambungan hidupnya masa kini dengan kehidupan para pendahulunya.....dengan demikian sejarah artikularian ini mempunyai fungsi untuk menciptakan identitas, kemana masa depan harus diarahkan.,
Jika dikaitkan dengan pendidikan, menjadi penting nilai-nilai luhur kebudayaan ditransformasikan kepada generasi muda melalui jalur formal. Menurut Prof Mattulada dalam Latoa (1995:456) :
Manusia menjadi penentu atas hidup kebudayaannya
Berdasar hal demikian, menjadi penting adanya usaha revitalisasi kebudayaan Bugis melalui jalur pendidikan formal selain usaha-usaha lainnya. Jika bukan manusia Bugis sendiri yang menjaga warisannya, maka tidak ada lagi nilai-nilai luhur yang menjadi identitas dan kepribadian.


Kerangka Kebangsaan
Jika kita perhadapkan kebudayaan Bugis dengan semangat kebangsaan kita, dapat kita katakan bahwa ke-bhineka-an itu kurang diapresiasi. Malah yang diutamakan adalah semangat ke-tunggal ika-an. Ini tercermin pada penyeragaman pola pikir pada zaman Orde Baru. Sehubungan dengan hal ini, Irwan Abdullah (2006:66) menulis :
Sudah menjadi rahasia umum bahwa etnis mayoritas mendapatkan privilese – privelese dalam berbagai bentuk, sementara etnis yang tidak memiliki back up mengalami marginalisasi.
Disinilah letak kekeliruan yang dilakukan rezim Orde Baru dalam rangka membangun kepribadian dan kebudayaan bangsa melalui berbagai jalur, termasuk penataran P4. Sementara pada aspek bahasa, pemberlakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, walau satu sisi telah memudahkan komunikasi antar anak bangsa, ternyata disisi lain justru menjadikan sekitar 500-an bahasa daerah dinusantara termarjinalisasi.
Parahnya, media justru memunculkan bahasa Indonesia yang tidak baku dialek Jakarta sebagai standarisasi bahasa gaul anak muda. Akibatnya, generasi muda kurang mengenal bahasa daerahnya. Konsekwensinya adalah bahasa daerah terancam punah. Sejalan dengan pendapat Andi Amriadi Ali (1999:13) bahwa :
“...mereka sudah lupa, malu dan kurang menghargai bahasa daerah. Padahal nilai-nilai budaya yang bagus dan mampu disumbangkan pada bangsa ini untuk menjadi ramuan bagi kebudayaan Indonesia yang akan datang. Jangan sampai dilupakan sebaga itu harus diwariskan...”
Dari aspek bahasa saja, kita telah mendapat sinyal untuk segera bereaksi terhadap fenomena ini. Bagaimana jika kita tinjau aspek lain dari kebudayaan. Maka hal ini, menjadi niscaya bagi kita saat ini untuk merevitalisasi kebudayaan kita dengan berdasar konsepsi kesejarahan dan konteks kekinian agar generasi muda Bone tidak kehilangan identitas dan mampu duduk sejajar dalam kerangka kebangsaan. Serta, menjadi warga dunia yang siap dengan perkembangan zaman tapi memiliki semangat sebagai Bugis Bone dalam kerangka multikulturalisme dan demokrasi.
Namun persoalan besar bagi kita semua adalah bagaimana membangun keseimbangan antara indentitas kedaerahan dan kebugisan sehingga tidak menciptakan arogansi kedaerahan atau kesukuan yang justru dapat menjadi pemicu konflik. Tapi disisi lain, bukan atas dasar nasionalisme yang kaku sehingga Budaya Bugis khususnya Bone justru terlupakan. Padahal kebudayaan Indonesia tersusun dari ratusan suku dan budaya termasuk Bugis khususnya Bone.
Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu harus mengembangkan metode yang tepat dan melibatkan segenap pihak yang terkait dan bergerak secara sinergis. Dengan adanya keterbukaan di era reformasi ini, membuka peluang bagi kita semua untuk mengangkat kembali “harta karun” manusia Bugis yang terpendam dalam naskah klasik yang terlalu disakralkan sehingga tak terbaca, untuk muncul kepermukaan agar dapat ditransformasikan pada generasi selanjutnya.


Sekelumit tentang Sejarah dan Budaya
Membahas tentang sejarah dan kebudayaan mestilah secara terpisah kemudian dipadukan. Sebab pembauran secara serampangan akan menyebabkan kita sulit untuk memahami sejarah dan budaya itu sendiri
Sejarah dalam persepsi Muththari terbagi tiga. Yaitu sejarah tradisional yang membahas tentang artefak dan bukti bukti kesejarahan. Kedua, sejarah ilmiah yaitu membahas tentang hubungan aksiden kesejarahan dimasa lalu dengan kondisi kekinian. Ketiga yaitu Filsafat sejarah, yaitu membahas tentang hal-hal yang mempengaruhi gerak sejarah itu sendiri.
Terkadang ada diantara kita (tapi tidak semua) yang terjebak pada sejarah tradisional. Padahal, artefak maupun aksiden dimasa lalu adalah hal yang sudah berlalu. Semestinya, menjadi bahan analisis kita dalam melihat wajah zaman hari ini dan bahan analisis dalam memprediksikan kondisi masa depan.
Jika kita menarik sejarah untuk konteks lokal, biasanya sejarah lokal kita terdiri dari beberapa versi. Kalaupun ada kesamaan data sejarah, tapi peluang untuk berbeda interpretasi juga terbuka luas.
Perbedaan pendapat juga muncul karena sejarah lokal sebelum fase kolonial tidak mencatat tahun. Sehingga untuk menghitung mundur, diratakan 25 (Prof A. Zainal) atau 30 (Ian Caldwell) jumlah generasi sebelumnya.
Seperti sejarah terbentuknya Kerajaan Bone, terjadi perbedaan persepsi tentang siapa raja bone pertama. Atau misalnya masa transisi dari Arumpone ke-13 La Maddaremmeng ke Arumpone 15 (17?) La Tenritatta Arung Palakka.
Sedangkan data sejarah yang sama tapi interpretasi berbeda ; misalnya posisi La Tenritatta Daeng Serang Petta MalampeE Gemme’na Arung Palakka, diinterpretasi sebagai pahlawan dan dilain sisi diinterpretasi sebagai pengkhianat .
Hal yang menarik adalah epos I La Galigo. Dalam Manusia Bugis, Pelras menulis (2006:54) :
Kebanyakan ilmuwan barat dewasa ini memandang seluruh siklus Lagaligo sebagai mitos belaka. Mereka menafikan kemungkinan untuk memanfaatkan teks itu sebagai sumber informasi yang layak.......oleh karena itu saya berpendapat bahwa tidak adanya sumber-sumber lain yang dapat diandalkan seyogyanya justru membuat Lagaligo tidak (dapat) diabaikan. Walaupun pemanfaatan teks itu memerlukan kecermatan yang tinggi.
Perdebatan Pelras dengan ilmuwan barat lainnya adalah kemungkinan diterimanya naskah Lagaligo sebagai data kesejarahan, meski Pelras tetap menggaris bahwa adanya kecermatan. Dari hal diatas, dapat dipahami adanya perbedaan yang disebabkan oleh kerangka metodologis (Prof. A. Zainal dengan Ian Caldwell. Atau Pelras dengan Ilmuwan barat lain). Ada juga perbedaan tafsir politis
Versi yang berbeda, mengindikasikan adanya dominasi untuk merekonstruksi sejarah. Interpretasi yang berbeda, mengindikasikan perbedaan perspektif dan usaha untuk hegemoni. Dari sini, mengungkap sejarah berarti membuat forum perdebatan. Jika tidak dikelola dengan baik, justru akan dapat menciptakan potensi konflik dilevel grass root. Kita bisa bayangkan, bagaimana sekiranya masyarakat fanatik buta terhadap satu versi atau penafsiran sementara masyarakat lain justru berbeda. Maka, bukannya kita menjaga aset sejarah dan menjadikannya bahan analisis dan spirit, malah kita justru merusak stabilitas masyarakat. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi.
Aksiden sejarah 300-an tahun yang lalu, dapat menciptakan konflik hari ini. Apalagi sejarah 50-60 an tahun yang lalu yang masih segar diingatan orang tua kita . Karena ada luka lama yang justru akan parah jika mengangkat dipermukaan secara gegabah. Menokohkan pelaku sejarah secara berlebihan dapat saja memunculkan fanatisme buta sehingga tercipta arogansi sejarah. Melecehkan pelaku sejarah, dapat saja memunculkan ketersinggungan Sampai di tahap ini, semua pihak yang berkaitan mestinya arif dalam melihat sejarah. Sehingga tidak ada lagi yang arogan dan tidak ada lagi yang tersinggung. Dengan demikian ketokohan pelaku sejarah menjadi spirit bagi generasi hari ini untuk membangun zamannya.


??


Kebudayaan lahir dari pengetahuan logika (benar-salah), etika (baik-buruk) dan estetika (indah-jelek) suatu kelompok manusia yang kemudian dibiasakan dari generasi ke generasi. Tiap suku, kaum atau komunitas, membangun kebudayaannya masing-masing selama beberapa generasi. Lebih lanjut, Prof Dr. Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan Reproduksi kebudayaan (2006:51) menegaskan :
Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Sebagai kerangka acuan kebudayaan telah merupakan serangkaian nilai yang disepakati dan yang mengatur bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan.
Kebudayaan ini berkembang sebagai hasil interaksi manusia dengan sesama manusia, dengan alam sekitar dan dengan penciptanya (perkecualian untuk budaya materialisme barat yang tidak berurusan dengan Tuhan)
Budaya Bugis berakar dari konsep ketuhanannya, yaitu Dewata SeuwaE yang kemudian diturunkan pada konsepsi kosmologi semesta yang terdiri dari tiga alam botinglangi, ale kawa, buri’ liu. Dari sini kemudian masuk pada falsafah sulapa eppa . Kemudian masuk pada nilai-nilai, norma atau sering disebut pangadereng). Lebih lanjut lagi, maka kita akan sampai pada kesenian dan kebudayaan material.
Setelah Islamisasi pada abad 17, terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam terdiri dari berbagai ragam penafsiran penganutnya, sehingga penafsiran terhadap Islam ini mempengaruhi pendapat seseorang terhadap akulturasi ini. Sehingga muncul penyikapan yang berbeda, mulai yang paling ekstrim, misalnya Operasi Toba yang dilancarkan DI/TII yang berpengaruh terhadap eksistensi Bissu, atau paling kooperatif terhadap tatanan klasik, yaitu mengakui kepercayaan pra Islam. Hal ini adalah hal yang sangat sensitif, dan mesti semua pihak arif dalam bersikap.
??


Manusia Bugis, selain memiliki tradisi lisan juga memiliki tradisi tulis.Adanya aksara lontara menjadi bukti bahwa manusia Bugis memiliki kebesaran. Karena tidak semua suku atau kebudayaan memiliki aksara tersendiri. Karya tulis manusia Bugis dahulu bukan hanya berkaitan dengan silsilah, tapi juga kronologi, astronomi/ramalan, naskah pertanian dan sebagainya. Bahkan, kita memiliki epos terbesar didunia sebagai warisan kita.
Sangat disayangkan jika anak-anak kita lebih mengenal tokoh kartun seperti Naruto, Batman dan sebagainya ketimbang mengenal kisah Meong Palo KarellaE. Bahkan banyak anak-anak kita yang kurang mengenal keluarga dan sahabat Nabinya dan lebih mengenal penyanyi dangdut atau artis Sinetron dan peserta Indonesia Mencari Bakat.
Sementara budaya bugis tengah terkikis oleh budaya asing, minat untuk melestarikan budaya generasi muda sangat kurang. Budaya Bugis diambang kehancuran, jika semua pihak tidak segera bersama-sama bekerja sesuai porsi masing-masing untuk menjaga aset budaya.
Banyak nilai-nilai kebudayaan Bugis yang relevan untuk ditransformasikan untuk generasi muda. Sebagai contoh, konsepsi siri’ na pesse atau konsepsi kepemimpinan sangat relevan untuk kembali dihidupkan. Konsep dalam berinteraksi (sipakatau, sipalebbi, sipakainge) yang melahirkan konsep (mappasitinaja) juga masih relevan. Pertanyaan terbesar kita hari ini adalah bagimana mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan sehingga lahir generasi manusia bugis Bone yang tanggap terhadap perkembangan zaman tapi tidak kehilangan identitas dan nilai kebugisannya ?.


Pentingnya Pembangunan Sektor Pendidikan
Pendidikan untuk memanusiakan manusia secara filosofis dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara normatif. Sebagai sebuah proses, tentu tidak dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi sebuah bangsa. Berhasil tidaknya proses pendidikan akan mempengaruhi martabat bangsa dimata bangsa lainnya.
Sebelum reformasi, pendidikan kita adalah proses penyeragaman cara berpikir. Misalnya dalam pendidikan bahasa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke memulai dengan ini budi. Padahal ada banyak tokoh lain yang bisa diangkat. Misalnya Ini Ucok, Ini Baco, Ini Ujang, Ini Denias dan sebagainya.
Pelajaran bahasa dan sastra pun itu-itu saja. Seolah-olah tidak ada sastra dari kebudayaan lain. Padahal, Indonesia ini dibentuk 500-an suku yang memiliki tradisi sastra tersendiri.
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan selalu menggunakan peristilahan yang berbahasa sangsekerta. Padahal, bahasa sangsekerta murninya dari India, bukan bahasa asli Indonesia. Kalaupun ada bahasa yang berasal dari salah satu suku di Indonesia, kita tidak akan menemukan kata siri na pesse’, pela gandong dan kearifan lainnya. Seolah-olah nilai dasar kebangsaan kita dibentuk dari kearifan satu suku saja.
Dalam pelajaran sejarah, petikan tentang sejarah Sulawesi hanya sekilas mengulas perang Makassar yang menokohkan peran protagonis kepada Sultan Hasanuddin dan peran antagonis kepada Arung Palakka. Sementara, kita harus menghapal raja-raja Singasari, Majapahit, Demak, Mataram dan sebagainya. Bahkan, pelajaran sejarah hanya mengulas pergerakan kemerdekaan di Jawa seolah-olah tidak ada orang luar Jawa yang berperang disana. Dan parahnya, sejarah pasca kemerdekaan adalah sejarah pemberontakan rakyat Aceh (DI-TII Daud Berueh), Sunda (DI-TII Kartosuwiryo), Banjar (DI-TII Ibnu Hajar), Sulawesi Selatan (DI-TII Kahar Muzakkar, Kapten Andi Azis), Sulawesi Utara (PRRI-Permesta), Ambon (RMS). Hanya PKI saja di Jakarta. Coba kita bandingkan peristiwa 10 November di Surabaya yang menjadi peringatan hari Pahlawan. Atau Serangan Oemoem 1 Maret di Jogja. R. A. Kartini, seorang bangsawan jepara, hanya mengirim surat kepada Belanda, malah dianggap pahlawan nasional dan hari lahirnya dijadikan hari perempuan Indonesia. Ini sungguh tidak sebanding dengan keringat dan darah Cut Nya Dien atau Laksamana Malahayati yang sekedar dianggap pahlawan biasa
Belum lagi klaim bahwa Nusantara pernah bersatu dibawah Sriwijaya dan Majapahit. Padahal sepanjang pengetahuan penulis, ini adalah klaim sepihak yang kebenaran sejarahnya belum dikonfirmasi pada daerah yang konon ditaklukkan Gajah Mada. Hal ini menjadi sebuah tanda akan superioritas satu suku terhadap suku lain.
Dalam kerangka kebangsaan kita, semua suku harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua bahasa dan kearifan lokal harus dihargai, demi membangun generasi bangsa yang menghargai perbedaan dan tidak kehilangan jati diri. Bukan menonjolkan sumpah-sumpahan yang tidak lebih berakar dari hasrat invasi (imperialisme tradisional) belaka.


??


Kita bersyukur, tumbangnya rezim Orde Baru 1998 membawa berkah di sektor pendidikan. Materi dan metode pengajaran untuk anak didik lebih cerdas. Bahkan, dengan adanya Kurikulum Muatan Lokal, peluang anak bangsa yang jauh dari pusat kekuasaan, dapat mengelola sendiri bahan pengajarannya. Sehingga menjadi peluang untuk proses transformasi nilai-nilai kebudayaan dan kesejarahan khususnya Bone.
Revitalisasi kebudayaan dan kesejarahan tentu kita tidak bebankan hanya pada sektor pendidikan formal dengan penjenjangannya (Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi) semata. Tapi juga pendidikan Informal dan Non Formal.
Disinilah pentingnya agar semua pihak dapat bekerja sama dan bersinergi untuk merevitalisasi kebudayaan dan kesejarahan. Di lain sisi pihak pengambil kebijakan sehubungan dengan pendidikan dapat mentransformasikan nilai-nilai tersebut melalui pendidikan formal.
Pendidikan Sejarah dan Kebudayaan nantinya harus menyelaraskan materinya dengan perkembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik kepada peserta didik dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang ada
Pengembangan materi Pendidikan Sejarah dan Kebudayaan tetap mesti mengacu pada prinsip pengembangan silabus, seperti yang dipaparkan Bambang Suhendro dkk dalam bukunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, seperti Ilmiah, Relevan, Sistematis, Konsisten, Memadai, Aktual dan Kontekstual, Fleksibel dan Menyeluruh.
Agar lebih efektif, selayaknya pendidikan diarahkan pada perkembangan kecerdasan spiritual. Sehingga nilai-nilai kebudayaan tidak sekedar menjadi pengetahuan kognitif bagi peserta didik. Jalaluddin Rahmat (2007:33-34) menulis:
Pendidikan harus meletakkan anak didik pada proses dialektik sejarah yang panjang. Ia harus dapat mengantarkan anak melalui berbagai tingkat kesadaran. Tidak boleh ada satu tahap kesadaran yang dinafikan. Salah satu diantara tahap kesadaran – yang selama ini justru dikesampingkan dalam sistem pendidikan kita – adalah kesadaran mistik, kesadaran akan sesuatu yang bersifat ruhaniah
Untuk menyelaraskan antara sisi kesejarahan dan kebudayaan Bugis Bone dengan pembangunan generasi muda Bone sektor pendidikan pada aspek intelektual yang berkaitan dengan spiritual, adalah hal yang tidak mudah. Perlu kerja keras berbagai pihak yang ada untuk bekerjasama dan mulai berbuat untuk masa depan Kabupaten Bone.
Dengan demikian, upaya ini tidak hanya sekedar romantisme semu akan besarnya sejarah dan budaya yang tak lama lagi hilang ditelan arus budaya konsumerisme. Akan tetapi transformasi nilai dan penerapannya menjadi proses pembentukan manusia Bugis Bone yang siap menghadapi era global tanpa harus kehilangan identitas .


Tawaran Metode
Agar revitalisasi kebudayaan dan kesejarahan dapat bersinergi dengan sektor pendidikan maka perlu dibuat metode. Adapun tawaran kami sebagai berikut
a. Pembentukan Tim
Tim dibentuk dari berbagai pihak antara lain, pihak pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda Olahraga Seni dan Budaya, Sekolah dan Komite Sekolah yang terkait. Kemudian pihak tokoh adat dan tokoh masyarakat Bone, serta pihak Lembaga Kebudayaan dan LSM. Pembentukan tim ini kemudian ditindak lanjuti dengan pembagian job description, penetapan skedul dan sebagainya
b. Riset
Dari skedul dan pembagian job description yang ditetapkan sebelumnya, tim melakukan pengumpulan data dan menganalisis data. Pada tahap ini, dilakukan penelitian akurasi (validitas) data dan efek-efek yang mungkin ditimbulkan. Diusahakan agar ada transformasi nilai dari data tersebut sesuai dengan kepentingan pendidikan.
c. Penyusunan Bahan
Setelah melewati proses seleksi bahan ajar (berdasar muatannya kepada tingkat pendidikan peserta didik) maka disusun silabus dan buku sebagai acuan berikut tujuan instruksional dari tiap materi pengajaran. Dan yang tak kalah penting adalah penyesuaian materi dan metode dengan standar pendidikan yang berlaku.
d. Sosialisasi dan Penerapan
Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Bone bekerja sama dengan pihak Sekolah menetapkan Mata Pelajaran “Sejarah dan Kebudayaan Bugis Bone” dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dan melakukan pelatihan kepada guru dan dosen. Pelatihan ini dimaksudkan agar tenaga pengajar lebih mampu menguasai materi dan mentransformasikan pada peserta didiknya.


Penutup
Adalah penting bagi semua pihak untuk bersama-sama menyelamatkan kebudayaan kita serta menjadikan warisan sejarah sebagai spirit ditengah pertarungan di era global saat ini. Selain penyelamatan aset sejarah dan budaya, perlu juga diadakan transformasi dan sosialisasi nilai melalui berbagai jalur pendidikan dalam rangka pembentukan generasi muda yang siap menghadapi era global tanpa mesti kehilangan identitas sebagai manusia bugis Bone
Pendidikan, sebagai hal yang sangat penting dalam proses pembentukan jati diri selayaknya memainkan peran aktif dalam proses ini. Pada jalur pendidikan formal, menggagas pelajaran pendidikan sejarah dan budaya Bugis Bone sebagai kurikulum muatan lokal adalah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Pada jalur pendidikan informal, semestinya tiap keluarga menjaga anggotanya dari tayangan yang tidak mendidik (tayangan sampah) seperti infotainment, sinetron dan sebagainya. Dan menggencarkan pesan-pesan moral pada generasi muda. Pada jalur non formal, hendaknya ada media yang senantiasa mengangkat sejarah dan budaya Bugis Bone kepermukaan, sehingga tidak tenggelam oleh pergeseran zaman.
Kita tidak dapat berharap kepada suku bangsa lain untuk menjaga warisan leluhur kita yang begitu tinggi. Karena hanya pewaris saja yang dapat menjaga dan melestarikan warisannya. Kita tidak dapat menunda lebih lama. Karena aset-aset sejarah semakin hari semakin rusak dan tokoh budaya mesti diregenerasi sesuai hukum alam. Kita tidak dapat tinggal diam melihat generasi muda yang kehilangan identitas dan jati diri. Kita harus berbuat seefektif dan seefisien mungkin dalam waktu singkat. Sebelum kerusakan yang lebih parah melanda aset sejarah dan budaya serta generasi muda kita.
Semoga ikhtiar kita dari berbagai pihak, dari Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, Tenaga Pengajar, Tokoh Adat dan Masyarakat, LSM, Pers, Mahasiswa, Lembaga Kebudayaan, dan sebagainya, dapat bersinergi untuk masa depan masyarakat Bone yang lebih baik dan diberkahi oleh Allah SWT. Wallahu A’lam Bishshowab.


Daftar Bacaan

Abdullah, Irwan. Prof. Dr “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” – Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006
Ali, Andi Amriadi “Sekitar Nilai-Nilai Demokrasi Pada Empat Etnis di Sulsel “– (FIK-LSM) Sulawesi Selatan dan Yappika, Makassar, 1999
Andaya, Leonard “Warisan Arung Palakka : Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17” – Penerbit Ininnawa. Makassar, 2004
Hutington, Samuel “Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia” – Qalam. Yogyakarta, 2005
Kambie, A.S “Akar Kenabian Sawerigading : Tapak Tilas Jejak Ketuhanan Yang Esa Dalam Kitab I Lagaligo (Sebuah Kajian Hermeneutik)” – Parasufia, Makassar. 2003
Liliweri, Alo Dr.M.S “Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya” – Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002
Mattulada, Prof. Dr “Latoa : Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis” – Hasanuddin University Press. Makassar. 1995
Muththari, Murtadha “Manusia dan Sejarah” – Penerbit Mizan. Jakarta. 1997
Nur, M. Rafiuddin “Lontara na Mario ri Wawo : Soppeng dari Pattoriolong hingga Pangadereng” – Rumah Ide. Makassar. 2003
Pelras, Christian “Manusia Bugis” – NALAR bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris. Jakarta. 2006
Rahmat, Jalaluddin “SQ For Kids : Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini” – Mizan. Bandung. 2007
Suhendro, Bambang dkk “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” – PT. Binatama Raya. Jakarta. 2007
Zainal Abidin Andi, Prof. Mr. Dr “Wajo Abad XV-XVI : Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontara” – Alumni. Bandung. 1985


* Disampaikan dalam kegiatan Seminar Pendidikan dengan Tema : Relasi Pendidikan dan budaya Lokal untuk menciptakan generasi yang handal dalam menghadapi hantaman arus globalisasi, yang diadakan
pada tanggal 8 Agustus 2010 di Aula Pesantren Biru
Jalan Biru Watampone
** Pemerhati Budaya Bugis


berkunjung juga ah ke miscah blog tutorial

No comments:

Post a Comment